Perspektif Santri
PENGAMAT, PENGHIDMAT, ATAU PENJILAT?
Hadirnya nabi muhammad sebagai simbolis islam rahmatan lil alamin, dan aspek ini dibuktikan dengan sistematis yang diatur dan dianjurkan oleh ajaran syara yang membidangi disetiap aktivitas manusia agar menjungjung tinggi kemaslahatan dan penghidmatandalam peribadatan.
Salah satu aspek yang diatur tata caranya yakni kepemimpinan, dari mulai tingkatan leadership tertinggi (kenegaraan) hingga leadership terendah yaitu ruang lingkup kekeluargaan,
Menyikapi hal ini nabi muhammad SAW memberikan sebuah maklumat dalam hadistnya :
sebagai berikut:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya :
Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban. (HR Imam Bukhari)
Kalimat kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an ra’iyyatihi adalah bacaan salah satu hadits yang berkaitan dengan kepemimpinan, perilaku dan akhlak.
Analogi dasar terhadap simulasi dunia nyata berarti
Presiden adalah pemimpin, dan presiden pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya.
Guru adalah pemimpin bagi para muridnya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas pendidikannya.
Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas istri dan keluarganya.
Seorang khodim (team sukses) adalah pemimpin dalam urusan yang diberikan oleh tuannya, bahkan bukan hanya sekedar memaksimalkannya, justru include dengan perkembangan dan inopasinya.
Semua itu pasti akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan dan tanggung jawabnya tersebut”.
Sangat jelassekali, tranparasi hadist tersebuut menegaskan bahwa karakteristik muslimin dan asas syara itu menanamkan sikap “Siap Dipimpin dan Siap memimpin.”, karna pada dasarnya setiap pemimpin. Pasti memiliki atasan masing masing.
Lahirlah sebuah pertannyaan “ jika presiden adalah pimpinan tertinggi siapakah atasannya?
Atasan bagi presiden yakni kembali lagi pada sikap ketauhidan pemimpin tersebut karna sejatinya atasan bagi presiden itu seberapa kuat pemimpin tersebut menggunakan dan menjadikan hukum syara sebagai landasan beragama,
walaupun memang setiap negara itu memiliki ideologi bernegara yang berbeda tapi ajaran hukkum agama islam sangatlah fleksibel, dan perlu kita sadari bahwa alloh adalah atasan tertinggi yang harus kita sematkan,
Maka bisa kita fahami dan menjadi dispensasi dalam pengabdian dan peribadatan, kita mampu menjadi muslim yang baik sesuai dengan propesi dan porsi masing masing,
yang berdagang cerminkan muslim dengan cara berdagangnya yang syar’i, begitupun pelajar dan pengajar bersikaplah layaknya perjalanan cendikiawan muslim yang mampu berinopasi berlandaskan pondasi syar’i bukan malah sekonyong konyong sampai meninggalkan aturan syara, sebab konsep muttaqin itu luas.
- “ sejatinya guru dan murid itu rekondisi, ada kalanya guru berguru pada murid, dan adakalanya murid berguru pada guru, dunia adalah sekolahnya wisudanya nanti saat kita masuk liang lahat, maka jungjunglah nilai maslahat bukan ego terhadap derajat.”
Penulis : anugrah24