Menulis Puisi
Puisi: Cahaya dari sang baginda

Ada nyala cahaya yang tak pernah padam,
bersembunyi di balik rahasia semesta.
Ia bukan minyak, bukan api,
tapi akhlak yang menyalakan jagat,
menerangi celah-celah paling gelap
di dada manusia.
Aku melihatnya
bukan sebagai sosok,
melainkan sebagai cakrawala
yang menolak runtuh.
Seperti samudera yang tak habis diteguk,
seperti bintang yang tak kenal purna,
seperti mata air……
yang terus memercik meski dunia kering.
Nyala itu hadir
dalam kelembutan yang bisa meluluhkan baja,
dalam kesabaran yang membuat gunung pun merunduk,
dalam kasih yang tak mengenal batas antara daging dan darah.
Aku berdiri di bawah langit riwayat,
merasakan sinar itu menetes ke dadaku
seperti embun di padang gersang.
Sumbu kecil dalam diriku bergetar,
sumbu yang sering redup, sering padam.
namun selalu hidup kembali
saat resonansi namanya mengguncang udara.
Aku tahu,
tanpa cahaya itu aku hanyalah malam
yang kehilangan bulan,
hanya arus liar
yang tak pernah sampai ke laut.
Maka biarlah nyala itu menyusup ke nadiku,
menjadi obor di lorong waktu,
membelah tirai gelap
hingga setiap langkahku—
bukan sekadar perjalanan,
tapi gema dari cahaya abadi.
Mengupas Rasa
Puisi: Sumbu Cahaya dari sang baginda ini berbicara tentang sebuah energi batin. Puisi ini berbicara tentang akhlak Rasulullah sebagai cahaya abadi.
Cahaya itu bukan api biasa, bukan sinar yang mudah padam. Ia adalah simbol teladan dan kekuatan jiwa. Kelembutannya meluluhkan kerasnya hati. Kesabarannya menundukkan gunung. Kasihnya melampaui batas daging dan darah.
Lewat metafora kosmik: cakrawala, samudera, bintang, dan embun. Puisi ini menunjukkan betapa akhlak Rasulullah adalah poros semesta, sesuatu yang memberi arah di tengah gelapnya kehidupan.
“Aku” dalam puisi adalah setiap manusia yang berusaha menyalakan sumbu kecil dalam dirinya, meski sering redup dan padam, namun selalu kembali menyala ketika namanya disebut, ketika akhlaknya diingat, ketika teladannya dihidupkan.
Klimaksnya adalah “kesadaran tanpa cahaya itu, manusia hanyalah malam yang kehilangan bulan, hanyalah arus liar tanpa tujuan”. Karena itu, Momentum maulid pun bukan sekadar perayaan. Ia adalah upaya menyalakan kembali obor itu di dada setiap insan.
Agar setiap langkah hidup bukan sekadar perjalanan, tetapi gema dari cahaya abadi.
Karya: anugrah24