Motivasi
Lifelong Learning: Bekal untuk Membangun Peradaban

Dalam sejarah peradaban Islam, para cendekiawan Muslim selalu menekankan pentingnya menuntut ilmu sepanjang hayat. hal ini seirama dengan kalimat tranding zaman global, istilah itu Lifelong Learning
“Barang siapa yang tidak merasakan pahitnya belajar walau sesaat, ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.” – Imam Syafi’i –
Inilah esensi dari lifelong learning (belajar seumur hidup) yang menjadi fondasi kemajuan umat. Ulama terdahulu tidak pernah memandang belajar sebagai rutinitas pasif, apalagi sebagai beban, melainkan sebagai ibadah yang terus dijalani hingga akhir hayat.
Mereka rela menempuh perjalanan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, demi mendapatkan satu hadis atau membuka lembaran ilmu baru, sedangkan kita, sudah disuguhi dengan kecanggihan dan kesempatan masih saja beleha-leha. Astagfirullah.
Tentunya hal itu lahir dari keyakinan dan kecintaan mereka terhadap ilmu dan dirinya, karena mereka meyakini bahwa ilmu adalah cahaya yang mampu menyelamatkan seseorang maupun kelompok dari gelapnya kebodohan, lain halnya dengan kita, yang telalu banyak alasan untuk menyerah dan putus asa.
Sobat junal, berikut adalah lima langkah lifelong learning yang dapat kita teladani dari jejak para ulama dan cendekiawan Muslim, agar ilmu yang kita cari menjadi amal yang terus mengalir pahalanya dan semoga kisahnya menjadi motivasi untuk kita agar tetap lillah dalam menikmati lelah.
1. Mindset Terbuka
Para ulama terdahulu menunjukkan betapa pentingnya hati yang terbuka dalam menuntut ilmu. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, rela menempuh perjalanan jauh dari Baghdad ke Yaman hanya untuk memastikan satu hadis yang belum pernah beliau dengar secara langsung. Bagi beliau, jauhnya perjalanan tidak sebanding dengan nilai satu hadis yang sahih dan terpercaya. Sikap terbuka seperti ini menjadi fondasi utama agar kita terus belajar dan berkembang, dan itu karakter lifelong learning (belajar seumur hidup) yang utuh.
Referensi: Ibn al-Jawzi, (Manāqib al-Imām Ahmad, hlm. 190–191.)
2. Eksplorasi
Dengan pola pikir terbuka itu, langkah diri berani menelusuri berbagai bidang ilmu yang bermanfaat. Ibnu Sina adalah contoh nyata; sejak muda ia telah menghafal Al-Qur’an dan terus memperluas cakrawala ilmunya di bidang kedokteran, filsafat, astronomi, hingga matematika. Pada usia 18 tahun, ia sudah dikenal sebagai tabib handal yang dipercaya merawat raja. Bagi Ibnu Sina, ilmu yang bermanfaat adalah ladang ibadah yang harus digali tanpa batas.
Referensi: Al-Qifti, (Akhbār al-‘Ulamā’ bi Akhbār al-Ḥukamā’, hlm. 442–447.)
3. Gunakan Berbagai Metode Belajar
Belajar tidak harus terpaku pada satu cara saja dalam karakter lifelong learning (belajar seumur hidup). Imam al-Syafi’i adalah contoh ulama yang menggabungkan berbagai metode: belajar langsung dari majelis ilmu di Mekah, berguru pada Imam Malik di Madinah, mempelajari fiqh Hanafi di Irak, hingga menulis karya ilmiah di Mesir. Ia membaca kitab, berdiskusi, dan menulis, menghasilkan metodologi fiqh yang kaya dan seimbang.
Referensi: Al-Nawawi, (Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt, jilid 1, hlm. 43–45.)
4. Cari Guru & Sahabat Ilmu
Jaringan keilmuan sangat penting untuk memperdalam pengetahuan. Imam Ahmad memiliki lebih dari 280 guru dari berbagai daerah dan latar belakang, mempelajari hadis, fiqh, tafsir, hingga bahasa. Beliau belajar tanpa membatasi diri pada mazhab atau asal-usul guru, selama sanadnya kuat dan ilmunya benar. Sikap ini mendorong kita untuk membangun jaringan belajar yang luas dan beragam.
Referensi: Al-Dzahabi, (Siyar A‘lam al-Nubalā’, jilid 11, hlm. 177.)
5. Berani Gagal
Kegagalan bukan akhir, melainkan bagian penting dari proses belajar. Imam al-Ghazali pernah mengalami krisis spiritual yang hebat hingga meninggalkan posisi pentingnya di Madrasah Nizamiyah Baghdad. Ia mengasingkan diri hampir satu dekade untuk mencari kebenaran sejati. Dari masa sulit itu lahir karya agung Ihya’ Ulum al-Din yang menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. mungkin jika lifelong learning (belajar seumur hidup) tidak tertanam dalam lubuk Al-ghazali, bisa saja ihya tidak akan terlahir
Referensi: Al-Subki, (Ṭabaqāt al-Shāfi‘iyyah al-Kubrā, jilid 6, hlm. 191–194.)
Kesimpulan
Belajar seumur hidup (lifelong learning) bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi ibadah yang menyempurnakan peran kita sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Kisah para ulama membuktikan bahwa kecintaan terhadap ilmu melahirkan keteguhan langkah, keberanian menempuh jalan sulit, dan kesabaran menghadapi rintangan.
Ilmu yang bermanfaat adalah cahaya yang menuntun kita keluar dari gelapnya kebodohan menuju kemuliaan. Rasulullah bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Maka, jadikanlah perjalanan menuntut ilmu ini sebagai bagian dari ibadah sepanjang hayat. Dari ilmu lahir amal, dari amal lahir keberkahan, dan dari keberkahan lahir peradaban yang diridhai Allah.
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Dia akan memberinya pemahaman yang mendalam tentang agama.”( HR. al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 71)
