Literasi Islami
Daulat dalam Makna Konteks Modern

Istilah daulat bukanlah istilah asing dalam tradisi Islam. Ia memiliki akar kata dalam bahasa Arab: daulatun (الدولة), dari akar dala–yadūlu–daulah yang berarti “berputar”, “bergilir”, atau “beredar”. Maknanya sederhana tapi mendalam.
Kekuasaan itu tidak kekal di satu tangan, melainkan bergerak, berpindah, dan berputar sesuai ketetapan Allah. Makna ini ditegaskan dalam dua ayat Al-Qur’an yang penting. Surah Āli ‘Imrān ayat 140 menyatakan:
اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗوَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ…
“Masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia…”
Pada ayat lain Surah al-Ḥasyr ayat 7 menyebut:
…كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam, baik kekuasaan maupun kekayaan seharusnya tidak menumpuk pada satu pihak. Meruju pada Prinsip dasar daulat adalah keadilan, distribusi, dan dinamika sosial yang seimbang.
Daulat Amanah
Para ulama klasik dan kontemporer menggarisbawahi makna filosofis dari daulat. Hannan Putra dalam Ensiklopedi Hukum Islam (2012) menyebut bahwa
“kekuasaan adalah amanah bukan milik mutlak seseorang atau kelompok.”
Syekh Yusuf al-Qarḍāwī ikut serta mempeluas pengertian ini, beliau menyebut bahwa
“daulah sebagai sistem yang mencakup hukum, kepemimpinan, wilayah, rakyat, dan ideologi, semua dalam kerangka tanggung jawab syar‘i.”
Dalam tradisi kerajaan Melayu-Islam, daulat dipandang sakral. Seorang raja di anggap menerima mandat ilahiah. Melanggar daulat bukan hanya soal hukum duniawi, tapi bisa mendatangkan tulah (musibah dari langit) karena di anggap menentang kehendak Tuhan. Artinya, kekuasaan raja itu dipercaya berasal dari Tuhan semacam mandat ilahi (mirip divine right of kings dalam sejarah Eropa).
Hal ini diperkuat berdasarkan kajian akademik Errington, Khalid Thaib, dan Lewis, mereka adalah peneliti dan sejarawan yang mempelajari tradisi politik dan budaya kerajaan Melayu-Islam mereka sepakat mengatakan bahwa “pelanggaran terhadap daulat dipandang dapat mendatangkan tulah…”
Dari Daulat menuju Kedaulatan
Dalam konteks modern Indonesia, Prof. Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa istilah “kedaulatan” dalam bahasa Indonesia berasal dari akar kata daulat. Artinya tetap sama:
kekuasaan bukan untuk dikuasai atau diakumulasikan secara eksklusif, tapi dijalankan dengan landasan karakter keadilan demi kemaslahatan bersama.
Prinsip ini sejalan dan selaras dengan kaidah fikih klasik:
اَلْمَصْلَحَةُ الْعَامَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى مَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ
“Kemaslahatan umum harus diutamakan atas kepentingan pribadi”
Saat keselarasan syara berkolaboraso dengan ketetapan negara lantas pada bagian mana titik salahnya?
Pesantren sebagai Pilar Kekuatan Umat
Dalam kerangka inilah, semboyan “Hamida Berdaulat” memperoleh pijakan historis, filosopis dan spiritualnya. Pondok Pesantren Miftahul Huda yang didirikan KH. Choer Affandy pada 1967 di Manonjaya, Tasikmalaya, berdiri bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tapi sebagai simpul perjalanan ruhaniah dan perubahan sosial, tak luput juga dari perjuangan tauhid, dan persatuan umat.
Sebelum Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya. Miftahul Huda telah bermula di Wanasuka, Cigugur, dan Gombongsari. Latar belakang pendirian tersebut adalah semangat untuk menyatukan umat Islam dalam bingkai tauhid di tengah fragmentasi sosial dan politik yang terbentuk oleh kolonialisme Belanda melalui strategi devide et impera.
Jiwa ulamāʾ al-‘āmilīn
KH. Choer Affandy melihat pasca kemerdekaan, umat Islam di Indonesia sangat mudah terpecah oleh kepentingan politik dan sektarianisme. Maka, perlu satu wadah perjuangan yang menyatukan orientasi umat kepada Allah.
Melalui Tri Program Pesantren, KH. Choer Affandy dengan Pesantren Miftahul Huda hadir untuk membentuk pribadi-pribadi Muslim yang berkarakter ‘ulamāʾ al-‘āmilīn (ulama yang mengamalkan ilmunya), imām al-muttaqīn (pemimpin orang-orang bertakwa), dan al-muttaqīn (kaum bertakwa itu sendiri). Miftahul Huda membangun pondasi kaderisasi umat yang bertauhid kuat dan bergerak kolektif. Dan visi ini nampak jelas dalam prinsip:
لَا اِسْلَامَ اِلَّا بِالْقُوَّةِ، وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِالْجَمَاعَةِ، وَلَا جَمَاعَةَ اِلَّا بِالْإِمَارَةِ، وَلَا إِمَارَةَ اِلَّا بِالطَّاعَةِ
“Tidak ada Islam tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa kebersamaan, tidak ada kebersamaan tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan”
Menjaga Umat, Menjaga Bangsa
Berdaulat dalam konteks Hamida bukan slogan kosong. Ia adalah ajakan untuk membangun kekuatan kolektif umat yang bersumber dari tauhid dan bergerak dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, hingga politik, bahkan setiap lapisan lainnya.
Para alumni Miftahul Huda di bimbing untuk mu’allim (pengajar ilmu agama), murabbī (pengasuh dan pembina masyarakat), muʾaddib (pelatih moral dan kehidupan beradab), dan mujāhid (pejuang yang menjaga nilai-nilai Islam dari ancaman internal dan eksternal).
Artinya harapan dan tujuan KH. Choer Affandy kepada alumni agar mampu menjadi figur yang tidak hanya berilmu dan mendidik, tapi juga berani menjaga nilai Islam dari ancaman ideologis, kultural, dan ekologis. Hal ini selaras dengan salah satu amanatnya
“Pertahankan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah”
Amanat Uwa Ajengan ke-5
Ancaman itu bisa datang dari luar, seperti ideologi sekular-materialistik atau dari dalam, seperti kerakusan terhadap kekuasaan dan sumber daya yang mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam hal ini, kaidah fikih yang menekankan kemaslahatan umum menjadi prinsip perjuangan yang utama.
اَلْمَصْلَحَةُ الْعَامَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى مَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ
“Kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi (atau golongan).”
Menuju Indonesia Emas 2045
Gerakan Hamida Berdaulat ini sejalan dengan upaya memperkuat NKRI dan mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Bahkan lebih dari itu, ini adalah kontribusi spiritual umat Islam untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 sebuah masa depan di mana pesantren tidak hanya mendidik, tapi juga memimpin arah bangsa baik secara moral atau secara spiritual.
Landasan perjuangan ini teguh di atas kalimat ṭayyibah:
لَا مَوْجُودَ إِلَّا اللهُ، لَا مَعْبُوْدَ إِلَّا اللهُ، لَا مَطْلُوْبَ إِلَّا اللهُ، لَا مَقْصُوْدَ إِلَّا اللهُ
“Tiada yang wujud selain Allah, tiada yang disembah selain Allah, tiada yang dicari selain Allah, tiada yang dituju selain Allah”
Dengan kekuatan tauhid ini, Hamida Berdaulat menjadi cahaya yang menuntun umat dari individu bertakwa menuju masyarakat Islami (syakhṣiyyah ṭayyibah), lanjut menuju lingkungan yang baik (qaryah ṭayyibah), hingga titik puncak negara yang berkah (baldah ṭayyibah).
Dari mulai kekuatan spiritual, sosial, budaya, dan ekologis yang menyatu, gerakan ini bermuara pada terwujudnya Islam sebagai raḥmatan li al-‘ālamīn, rahmat bagi seluruh alam semesta, bukan rahmat bagi sebagian manusia.
Satu Langkah Menata Daulah
Hamida Berdaulat bukan cita-cita perorangan, justu cita-cita bersama. Ia bukan hanya tentang pesantren, tapi tentang masa depan umat. Tentang keberanian untuk bersatu, membangun kekuatan bersama, dan memperjuangkan kemaslahatan yang hakiki demi bangsa, demi Islam, dan demi peradaban dunia yang terhiasi oleh kejayaan intelektual, hidupnya keadilan, dan insan bermoral.
Kolumnis: Rijah Muhammad Majdidin
Editor: anugrah24