Literasi Islami
Kenapa Santri Suka Menulis Shalawat di Awal Kitabnya?

Di pesantren-pesantren Nusantara, ada kebiasaan yang nyaris tak pernah hilang. Setiap kali membuka kitab kuning, seorang santri hampir selalu menuliskan nama Nabi Muhammad ﷺ disertai shalawat kepadanya di lembar pertama. Dari luar, ia tampak seperti coretan kecil tanpa arti. Namun bagi santri, itu adalah adab, doa, sekaligus ungkapan cinta.
Tradisi ini diwariskan turun-temurun.Karna Santri percaya, tulisan shalawat tidak pernah sia-sia. Ia menjadi amal yang terus hidup, bahkan setelah halaman itu ditutup dan kitab kembali tersimpan di rak kayu sederhana.
Shalawat sebagai Adab dan Cinta
Mengapa shalawat begitu melekat dalam kultur santri? Karena bagi santri, menulis nama Nabi ﷺ bukan sekadar hiasan. Itu adalah adab kepada guru besar umat Islam. Rasulullah ﷺ-lah sumber cahaya, penghubung wahyu, sekaligus pintu ilmu. Tanpa beliau, kitab-kitab yang dipelajari di pesantren tak akan ada. Maka, menuliskan shalawat di awal kitab adalah pengakuan bahwa ilmu ini sampai kepada kita berkat Nabi Muhammad ﷺ.
Kebiasaan ini juga mencerminkan cinta. Santri memulai belajar dengan mengingat sosok yang mereka rindukan, meskipun tak pernah bertemu secara fisik. Bagi mereka, shalawat bukan sekadar lafaz, melainkan ikatan batin.
Hadits tentang Shalawat yang Ditulis
Syekh M. Nawawi al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja mengutip sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ
“Siapa yang bershalawat kepadaku di dalam sebuah buku, maka malaikat senantiasa mendoakannya selama namaku masih tercatat di buku tersebut.”
(Kasyifatus Saja, h. 4)
Hadits ini menunjukkan betapa besarnya keutamaan menulis shalawat. Selama tinta itu masih terbaca, selama huruf-hurufnya masih tampak, malaikat tidak berhenti mendoakan orang yang menuliskannya. Bayangkan, betapa luasnya pahala yang mengalir dari satu goresan tinta.
Syekh Nawawi kemudian menukil penjelasan Syekh Abdul Mu‘thi as-Samlawi:
“Siapa saja yang menulis shalawat, membacanya, atau melafalkannya dari sebuah tulisan, maka malaikat tidak berhenti mendoakan keberkahan dan memohonkan ampunan baginya.”
Artinya, bukan hanya orang yang menulisnya saja yang mendapat doa malaikat, tapi juga orang yang membaca tulisan itu, atau sekadar melafalkan kembali. Jadi satu tulisan bisa menjadi sumber pahala yang terus mengalir: bagi penulisnya, bagi pembacanya, bahkan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Shalawat di Lisan, Tinta, dan Warna
Dari sini kita memahami, shalawat tidak terbatasi oleh satu medium. Ia bisa hidup di lisan seorang muazin, di tinta santri pada kitabnya, di coretan dinding pesantren, bahkan di kanvas warna-warni dalam pelajaran kaligrafi. Selain itu bisa juga dengan tulisan pulpen sederhana, bisa juga sebuah lukisan dengan cat minyak yang penuh seni. Semuanya tetap bernilai ibadah selama niatnya untuk memuliakan Rasulullah ﷺ.
Inilah rahasia kenapa tradisi menulis shalawat di awal kitab begitu kuat dalam kultur santri Nusantara. Itu bukan sekadar coretan kecil, tapi jejak cinta yang menembus waktu. Selama tinta itu ada, malaikat terus mendoakan. Dan selama tradisi itu terjaga, pesantren tetap menjadi rumah bagi cinta Rasulullah ﷺ.
Maka, jangan pernah remehkan satu lafaz shalawat. Baik yang terucap lirih di bibir, tertulis di pojok kitab, atau tergores di kanvas seni. Semua itu adalah cara kita menyambungkan hati kepada Nabi ﷺ.
Wallāhu a‘lam.
Editor: anugrah24