Connect with us

Literasi Islami

Ketulusan Lebih Nyaring daripada Kata: Menyelami Makna Dilālatu al-Ḥāl Awlā Min Dilālati al-Maqāl

Published

on

orang sedang mencontoh yang baik

Dalam kehidupan yang penuh dengan kata-kata — dari mimbar ke media sosial, dari ceramah ke caption — manusia kadang terjebak dalam ilusi makna. Banyak yang lihai berkata, namun tak semua tulus berbuat. Dalam khazanah Islam, para ulama telah lama mengajarkan satu kaidah yang indah dan mendalam:
دلَالةُ الحالِ أَولَى مِن دَلَالةِ المَقالِ
(Petunjuk keadaan lebih utama daripada petunjuk perkataan).

Ungkapan ini tidak hanya hidup dalam literatur klasik, tapi juga menjadi prinsip akhlak yang sangat relevan di era citra dan narasi ini.

Makna dan Akar Keilmuan

Dalam ilmu ushul fiqh dan balaghah, kaidah ini mengajarkan bahwa keadaan nyata seseorang (ḥāl) dapat menjadi dasar penilaian daripada perkataan lisan (maqāl).

Misalnya, dalam suatu akad atau perceraian, jika perkataan mengandung ambiguitas tetapi perilaku menunjukkan keseriusan, maka yang menjadi patokan adalah keadaannya.

Ini mengajarkan pentingnya kejujuran lahir dan batin. Islam tidak hanya menilai apa yang dikatakan, tapi juga bagaimana itu diungkapkan dan dijalankan.

Menjadi Relevan di Zaman Modern

1. Ketika Narasi Tak Selalu Sejalan dengan Realita

Di media sosial, mudah bagi seseorang menampilkan sisi terbaiknya, bahkan yang tak mencerminkan dirinya. Maka, kaidah ini menasihati kita untuk tidak tertipu oleh kemasan, tapi menimbang kenyataan.

Allah ﷻ berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash-Shaff: 2-3)

2. Dakwah yang Membumi dalam Keteladanan

Nabi Muhammad ﷺ diutus bukan hanya untuk menyampaikan wahyu, tapi juga untuk menjadi suri teladan yang hidup:

“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”
(QS. Al-Ahzab: 21)

Keteladanan beliau membuat ajaran Islam menyentuh hati para sahabat dan menembus batas budaya, tanpa banyak retorika.

Dalam konteks dakwah masa kini, ini adalah panggilan untuk mengedepankan dakwah bil āl — yaitu mengajak kepada Islam melalui perilaku nyata, ketulusan, dan adab.

3. Etika Sosial dan Hubungan Antar Manusia

Kadang, kita mendengar seseorang berkata, “saya peduli”, “saya ada untukmu”, tapi absen ketika benar-benar dibutuhkan. Dalam hubungan sosial, Islam menilai kehadiran dan empati nyata lebih utama daripada sekadar ucapan.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Thabrani)

Maka, kebermanfaatan nyata dalam tindakan adalah wujud kejujuran yang paling mulia.

4. Kepemimpinan dan Amanah Publik

Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, banyak harapan bergantung pada para pemimpin. Ucapan visi-misi boleh menjadi awal, namun rakyat menanti bukti. Dilālatu al-ḥāl mengajarkan bahwa konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah bentuk amanah.

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Dengan begitu, masyarakat dibina untuk lebih kritis namun tetap adil, serta tidak fanatik hanya kepada retorika tanpa realisasi.

Kaidah دلَالةُ الحالِ أَولَى مِن دَلَالةِ المَقالِ bukan sekadar pedoman para fuqaha, tapi nasihat hidup sepanjang zaman. Ia mengingatkan bahwa kejujuran yang sejati bukan hanya apa yang terdengar — tapi apa yang nyata. Dalam dunia yang gemerlap oleh kata, Islam mengajak kita untuk kembali pada ketulusan amal.

Semoga kita termasuk hamba-hamba yang jujur dalam laku, lembut dalam tutur, dan nyata dalam mencintai kebenaran.

“Ya Allah, jadikanlah kami di antara mereka yang berkata baik karena hati yang bersih, dan berbuat benar karena iman yang utuh.”

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2023 Miftahul Huda Pusat.

ا?. خرید سنگ پیریت.