opini
Hukum Syara: Sering Disalah pahami dan Dianggap Tak Logis

Dalam banyak forum, obrolan santai, hingga perdebatan publik, hukum syara kerap menjadi sasaran kritik. Ia dianggap kaku, kolot, bahkan tidak logis. Sebagian orang menilainya tak sesuai dengan perkembangan zaman. Pertanyaan yang sering muncul: mengapa warisan perempuan setengah dari laki-laki? Mengapa aurat perempuan begitu ketat aturannya, sementara laki-laki tampak lebih longgar? Mengapa riba haram padahal bunga bank terkesan kecil dan membantu perekonomian?
Di hadapan pertanyaan-pertanyaan itu, ada dua sikap yang sering muncul. Pertama, sikap defensif: hukum syara diterima begitu saja tanpa boleh ditanya. Kedua, sikap skeptis: hukum syara ditolak karena dianggap tidak masuk akal. Kedua sikap ekstrem ini sama-sama berangkat dari miskonsepsi. Padahal, di balik setiap hukum, terdapat logika dan tujuan yang lebih luas daripada sekadar perbandingan angka atau simbol luar.
Akar Kesalahpahaman
Mengapa hukum syara sering disalahpahami? untuk menjawabnya, Setidaknya ada tiga akar persoalan.
1. Reduksi pada simbol
Banyak orang hanya berhenti pada bentuk luar. Misalnya, jilbab dianggap sekadar kain panjang yang membatasi kebebasan perempuan. Padahal, dalam pandangan syara, jilbab bukan sekadar pakaian, tetapi bagian dari sistem perlindungan martabat. Begitu pula hukum waris: orang hanya melihat angka 2:1, lalu buru-buru menilainya sebagai diskriminatif. Padahal, angka hanyalah pintu masuk, bukan isi rumah hukum itu sendiri.
2. Benturan paradigma modern
Dunia modern dominan terbangun di atas rasionalitas individual. Hak pribadi menjadi pusat, sedangkan kewajiban kolektif sering dipandang sebagai beban. Syara justru lahir dari paradigma yang berbeda: menyeimbangkan hak dan kewajiban dalam bingkai transendental. Ketika dua paradigma ini bertemu, wajar jika timbul benturan. Apa yang bagi masyarakat modern tampak “tidak logis”, sebenarnya logis dalam sistem yang berbeda.
3. Kurangnya literasi maqashid syariah
Banyak orang memahami hukum syara hanya dari sisi teks, tanpa menyentuh maqashid (tujuan syariat). Padahal, syariat tidak turun untuk membebani, melainkan untuk melindungi lima hal utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tanpa memahami tujuan ini, hukum syara mudah disalah pahami sebagai aturan kaku tanpa ruh.
Logika dalam Syariat
Pertanyaan pentingnya: apakah hukum syara memang tidak logis? Jawabannya: syara justru sangat logis, hanya saja logikanya tidak selalu identik dengan logika modern.
Istilah “logika modern” secara konvensional merujuk pada perkembangan di bidang logika dari awal Renaisans Eropa hingga pergantian abad ke-20. Ini tidak berarti bahwa terdapat perkembangan yang mulus dari suatu konsepsi penalaran yang terpadu selama periode modern. Logika modern menunjukkan
keragaman yang ekstrem , dan perkembangannya yang kacau, hal ini mencerminkan dengan sangat jelas bahwa gejolak politik, kepentingan perorangan, dan gejolak intelektual yang melingkupi semuanya.
Dalam ilmu ushul fiqh dikenal konsep illat (sebab hukum) dan hikmah (tujuan hukum). Illat biasanya jelas dan bisa masuk akal, misalnya minuman memabukkan haram karena mematikan akal. Adapun hikmah kadang tersembunyi dan baru terasa setelah menjalankan hukum itu.
Contoh klasik adalah pembagian waris. Mengapa laki-laki mendapat dua bagian sementara perempuan satu? Jika hanya berdasarkan jumlah angka, tampak tidak adil. Namun dalam sistem syariat, laki-laki memikul tanggung jawab nafkah: untuk diri, istri, anak, bahkan keluarga besar. Sementara perempuan, meskipun mendapat setengah, ia bebas mengelolanya tanpa kewajiban memberi nafkah. Jika secara fungsional, pembagian ini justru menciptakan keseimbangan, bukan diskriminasi.
Contoh lain adalah larangan riba. Banyak yang menganggap bunga bank kecil tidak merugikan siapa pun. Tapi jika lebih dalam, sistem riba menimbulkan ketimpangan struktural: yang kaya semakin kaya tanpa kerja, yang miskin terjerat utang. Logika syara ingin mencegah kesenjangan ini sejak awal.
Kenapa Syara Terlihat Tak Logis?
Jika syara sebenarnya logis, kenapa masih dianggap tak masuk akal? Ada beberapa penyebab:
Logika tereduksi akal rasional semata.
Masyarakat modern menilai segala sesuatu dengan standar rasionalitas praktis. Padahal, syara tidak hanya bicara logika akal, tapi juga logika wahyu. Ada hal-hal ta’abbudi (ibadah murni) yang tak bisa diukur oleh rasionalitas duniawi, seperti jumlah rakaat shalat atau waktu tertentu dalam ibadah haji.
Keterputusan antara teori dan praktik.
Hukum syara sering di pelajari dalam bentuk teks, tapi tidak di hidupkan dalam kehidupan sosial. Akibatnya, ia tampak asing. Misalnya, larangan riba menjadi perdebatan, tetapi sistem ekonomi alternatif (zakat, wakaf produktif, koperasi syariah) tidak di kembangkan serius.
Bias budaya sekuler.
Di era globalisasi, standar “masuk akal” sering di ukur dengan kacamata Barat-sekuler (suatu hal yang bersifat keduniawian atau kebendaan, tidak berhubungan dengan hal-hal keagamaan atau kerohanian). Sehingga Apa yang tidak sesuai dengan nilai liberal di anggap ketinggalan zaman. Padahal, logika syara berdiri di atas fondasi yang berbeda: ia memandang hidup bukan hanya untuk dunia, tapi juga untuk akhirat.
Logika Syara vs Logika Duniawi
Perbedaan paling mendasar terletak pada orientasi. Pebedaan tesebut adalah: Logika duniawi hanya berorientasi pada manfaat instan: apa yang menguntungkan sekarang dianggap benar. Logika syara berorientasi jangka panjang, bahkan melampaui dunia menuju akhirat.
Contoh sederhana: puasa. Dari kacamata duniawi, puasa terlihat merugikan: mengurangi energi, mengganggu produktivitas. Namun dari perspektif syara, puasa adalah latihan pengendalian diri yang melahirkan kesehatan jasmani dan rohani. Baru setelah sains modern meneliti, manfaat puasa terlihat secara medis.
Dengan kata lain, syara sering dianggap tak logis hanya karena akal manusia belum sampai pada lapisan hikmahnya. Seiring berjalannya waktu, banyak hukum yang tadinya tampak aneh akhirnya diakui manfaatnya.
Dari Simbol Syara menuju Ruh
Jika kita ingin mengurangi kesalahpahaman, ada beberapa langkah penting.
Memasyarakatkan maqashid syariah.
Umat perlu memahami tujuan hukum islam, bukan sekadar teksnya. Jika orang tahu bahwa jilbab bukan sekadar kain, tapi perlindungan, ia tidak lagi melihatnya sebagai beban.
Menghidupkan praktik syariat secara sosial.
Hukum syara bukan hanya dibaca, tapi dijalani dalam kehidupan nyata. Ketika zakat, infak, dan wakaf benar-benar menghidupi masyarakat, orang akan melihat betapa syara membawa keadilan sosial.
Mengajarkan logika syara sejak dini.
Anak muda perlu dikenalkan bahwa logika bukan hanya matematika dan sains, tapi juga logika nilai. Dengan begitu, mereka tidak tergoda menganggap hukum agama sebagai “tak logis”.
AYO MONDOK! DI MIFTAHUL HUDA MANONJAYA
Benang Merah
Sobat jurnal, yang budiman.
Hukum syara sering disalahpahami bukan karena ia tidak logis, melainkan karena cara kita memandangnya yang salah arah. Kita terbiasa menilai dengan logika instan, sementara syara berdiri di atas logika yang lebih luas: logika wahyu yang melampaui sekadar akal.
Syariat tidak turun untuk mematikan logika manusia, tetapi untuk menuntunnya agar selaras dengan tujuan hidup sejati: menjaga martabat, menciptakan keseimbangan, dan mengantarkan manusia pada keselamatan dunia dan akhirat.
Jika kita mau menggali hikmah di balik setiap aturan, kita akan menyadari: hukum syara bukan beban yang membelenggu, melainkan cahaya yang menuntun.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ١٠٧
Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya’ · Ayat 107)
.
Penulis: anugrah24
