Perspektif Santri
Tradisi Menulis di Pesantren: Menghidupkan ilmu dengan pena

Di pesantren, ilmu tak hanya diajarkan lewat lisan, tapi ditanamkan dalam adab dan dituai dalam amal. Santri belajar bukan sekadar tahu, tapi bertaqwa lewat ilmu. Sayangnya, di tengah padatnya rutinitas, satu kebiasaan penting sering terlupa yaitu “TRADISI MENULIS”. Padahal ia bagian dari menjaga ilmu.
Imam al-Ghazali, dalam kitab Ayyuhā al-Walad, menyampaikan nasehat.
إذا لم تكن عالماً فكن كاتباً
“Jika engkau belum bisa menjadi ‘alim, maka jadilah seorang penulis.”
Dari ungkapan itu kita bisa fahami bahwa, Tradisi menulis bukan sekadar aktivitas akademik. Ia adalah bentuk tanggung jawab kita kepada ilmu, kepada guru, kepada umat, dan kepada waktu.
Bisa kita bayangkan, Tanpa adanya tulisan, akan banyak hal besar hanya akan menjadi kenangan yang memudar begitu saja.
Dari Pena Ulama, Lahirlah Warisan multi zaman
Para ulama terdahulu sangat paham bahwa lisan bisa terlupa, tapi tulisan bisa abadi. Karena itulah mereka menjadikan tradisi menulis sebagai aktivitas refleksi, latar belakang mereka tentu bukan untuk popularitas, tapi untuk mengikat ilmu yang telah mereka peroleh agar tak hilang tergeser zaman, dan niat pokoknya pasti agar menjadi satu wasilah kemanfaatan hidup dan bisa meraih mardatillah, hal ini terpotret dalam bagian Muqodimah kitab (pembuka kitab).
Ada sebuah kutipan dari Imam al-Syafi’i, yang ringan secara kalimat namun berat dalam pengapikasian. Mengutip dari kitab Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlihi, Ibn ‘Abd al-Barr, Juz 1
العلم صيد والكتابة قيده
“Ilmu adalah buruan, dan tulisan adalah tali pengikatnya.”
Kitab-kitab kuning yang kita kaji hari ini adalah bukti kesungguhan ulama dahulu yang berusaha memburu banyak ilmu dan mereka menyisakan sebagian dari buruannya untuk kita. Dengan harapan bukan hanya sekedar menjadi orang yang konsumtif, melaikna bahan ini menjadi inspirasi untuk menciptakan karya baru tanpa mengurangi esensi.
Diriwayatkan oleh Ibn ‘Adī, al-Kāmil fī Ḍu‘afā’ al-Rijāl, meski sanadnya diperselisihkan, namun maknanya diakui banyak ulama.
مداد العلماء أفضل من دماء الشهداء
“Tinta para ulama lebih mulia daripada darah para syuhada.”
Di baliknya ada pena yang tak pernah lelah, hati yang tulus, dan akal yang jernih. Mereka menulis dengan rasa takut kepada Allah dan cinta kepada umat dan justru karena itu, kalam mereka masih hidup hingga saat ini.
Santri, Pena, dan Keraguan
Tapi bagaimana dengan santri hari ini?
Santri saat ini banyak yang masih enggan menulis. Ada rasa ragu, takut salah, atau merasa belum pantas. Padahal para ulama besar juga pernah memulai dengan tulisan-tulisan sederhana lalu tumbuh perlahan, seiring dengan kedalaman ilmu dan kedewasaan ruhani mereka, serta intofeksi dan evaluasi yang meningkat, alhasil karyanya bukan hanya selesai tapi sertai dengan kemanfaatan bagi umat.
Mungkin kemarin kita sudah mencoba, dan hasilnya mengecewakan, namun Kegagapan dan kegagalan kemarin bukan alasan untuk diam. Justru menulis adalah cara untuk belajar berpikir dengan runtut, menyusun pemahaman, dan memelihara hikmah agar tidak menguap begitu saja.
Menulis sebagai Dzikir Panjang
Bagi seorang santri, menulis bisa menjadi bentuk dzikir. Ia bukan soal hebat atau fasih, tapi tentang kejujuran dari dalam diri diolah menjadi sebuah karya agar berani menyuarakan isi pikiran, menyusun makna, dan mengakui keterbatasan diri.
Sebuah pepatah mengatakan bahwa.
“Menulis itu seperti bercermin pada diri sendiri, pada guru, dan pada zaman. Tulisan bisa menjadi jembatan utama antara ilmu dan amal, antara masa lalu dan masa depan. Maka menulislah! agar ruhmu bisa hidup multi zaman.”
– KH. Asep Maoshul Affandy-
Tradisi menulis bukan hanya warisan ia adalah amanah. Dan Tugas pokok santri hari ini bukan sekadar membaca ulang kitab, tapi juga menyalakan kembali semangat menulis dengan cinta pada ilmu, hormat pada guru, dan harapan utuh pada ridha-Nya.
Menghidupkan, Bukan Sekadar Mengingat
Menulis bukan sekadar pekerjaan tangan, tapi gerak hati yang sadar akan amanah ilmu yang telah dititipkan. Oleh karna itu, Sobat Jurnal yang budiman,
Mari budayakan tradisi ini, jangan tunggu sempurna untuk mulai menulis karena ulama dahulu pun memulai tulisannya berawal dari huruf-huruf sederhana dengan dasar harapan dan keikhlasan tiada tara.
Kini!, giliran kita menghidupkan kalam ulama, menghidupkan bukan hanya dengan membaca dan menghafal, tapi dengan menulis, dan menyambung rantai ilmu agar terus mengalir ke generasi berikutnya.
Mari genggam pena dan biakan pena itu menari diatas kertas, karena bisa jadi tinta kecil hari ini adalah cahaya besar bagi umat di masa depan.
Kolumnis: anugrah24